Aku terkejut ketika tiba-tiba mendapat sepucuk surat dari seorang teman
SMA yang berisi pemberitahuan reuni khusus untuk kelasku di SMA. Reuni
rencananya akan diadakan kurang lebih sebulan lagi saat cuti bersama
lebaran 1996 sekaligus halal bi halal. Setiap tahunnya memang kelasku
mengadakan pertemuan. Acara akan diadakan di sekitar Jabotabek, karena
banyak teman-teman SMA yang berdomisili di Jakarta. Namun karena
berbagai pertimbangan akhirnya diputuskan dipindah ke Yogyakarta saja.
Terakhir aku bertemu dengan teman-teman SMA waktu reuni 1990, setahun
setelah kami lulus. Setelah itu karena kuliah dan kemudian domisili
serta pekerjaanku yang sering berpindah, maka aku tidak pernah ikut
lagi.
"Pak Anto, ada telepon. Katanya dari teman bapak sewaktu di SMA," kata
Ita, operator telepon di kantorku sambil melongokkan kepalanya di pintu
ruanganku.
"Thanks Ta".
Kuraih gagang telepon.
"Hallo..".
"Pak Anto?" terdengar suara di telepon.
"Ya, saya sendiri. Ini siapa?" tanyaku.
"Tok, gila lu. Nyariin lu susahnya melebihi menghadap menteri. Ini Isman. Lu udah dapat pemberitahuan reuni kelas kita belum?"
"Udah, tapi nggak tahu nih. Tahun ini mungkin nggak bisa ikut lagi," kataku.
"Tahu nggak, anak-anak bilang lu sekarang sombong, beda dengan waktu
sekolah. Nggak pernah mau ikut kumpul-kumpul lagi," kata Isman
memvonisku.
Isman memang teman sekolahku yang paling dekat. Selama tiga tahun di SMA
kami duduk sebangku. Paling kalau lagi bosan sehari dua hari nomaden
cari tempat duduk lain. Habis itu kembali lagi. Kami sering diolok-olok
sebagai sepasang kekasih. Anaknya baik dan fair. Meskipun aku selalu
dapat rangking 3 besar, ia tidak pernah memanfaatkanku dengan mencontek
secara mentah. Paling ia hanya minta rumusnya saja. Setelah itu ia
sendiri yang memasukkan bilangan ke dalam rumus dan mengerjakannya
sendiri.
"Bukan begitu Is. Lu kan tahu domisiliku dan pekerjaanku sering
berpindah kota. Jadi undangan tidak pernah sampai dan juga kadang tidak
bisa ambil cuti".
"Kali ini usahakan ikut. Banyak yang nanyain tuh. Intan gebetanmu waktu
SMA sering jadi sasaran olok-olok teman-teman. Katanya lu nggak mau
datang karena patah hati ditolak sama Intan".
"Ha.. Ha.. Ha. Lu bisa aja. Gua ama Intan masih sering kontak kok. Cuma
sebagai sahabat saja. Gua ngerti alasan dia menolakku dulu".
"Udah ya. Pokoknya kali ini lu mesti datang atau namamu dicoret dari daftar alumni kelas kita".
"Iya deh, gua usahain," kataku ragu. Soalnya meskipun pada saat lebaran
aku tidak diijinkan mengambil cuti terlalu lama. Cukup libur dua hari
tanggal merah saja kata bosku. Memang sebagai kompensasinya aku diberi
jatah cuti yang lebih panjang dari biasanya di lain waktu.
Aku ingat masa SMA-ku. Rasa tertarik pada teman wanita ada. Tapi karena
sifatku yang cengengesan jadinya mereka menganggap hanya sebagai sebuah
canda saja. Akhirnya ketika menjelang lulus, kutembak Intan. Kurasa ia
sebenarnya ada hati juga padaku, namun karena ada suatu perbedaan
prinsip ia menolak cintaku. Akupun maklum dengan alasannya dan sampai
saat ini kami masih sering kontak baik lewat telepon ataupun surat.
Beberapa hari kemudian aku iseng-iseng ke personalia. Kutanyakan jatah
cutiku untuk tahun ini. Ia membuka komputernya dan menatapku sebentar.
"Pak Anto masih punya jatah cuti 10 hari. Kenapa? Mau ambil cuti lagi?" tanyanya.
"Rencananya saya mau ambil cuti pada masa lebaran saja Pak. Udah berapa tahun nggak pernah pulang saat lebaran," kataku.
"Bapak isi saja formulirnya, nanti kalau kondisinya memungkinkan tentu
akan diijinkan," katanya sambil mengangsurkan formulir permohonan cuti.
Setelah kuisi lalu kukembalikan lagi padanya. Tiga hari kemudian aku
mendapat konfirmasi bahwa cutiku diberikan sesuai dengan permohonanku.
Akhirnya saat reuni pun tiba. Dalam suasana lebaran begini kami masih
bisa mendapatkan tempat di sebuah hotel di Kaliurang. Hebat amat
panitianya, pikirku. Ternyata suami seorang teman, Tini, bekerja sebagai
manager di hotel tersebut. Pantas saja!
Aku datang sekitar pukul tiga sore. Sengaja kusamarkan penampilanku.
Cambang tidak kucukur selama seminggu lebih. Topi yang kulesakkan agak
dalam ke kepalaku dan kacamata hitam semakin membuatku yakin tidak ada
yang mengenaliku. Ketika ke resepsionis hotel kulirik di lobby telah
berkumpul beberapa temanku.
"Mbak, reuni untuk SMA XX benar di sini?" tanyaku.
"Oh ya Pak. Bapak siapa namanya?"
"Anto".
"Kamar bapak 217, nanti sekamar dengan Pak Isman," kata resepsionis tadi sambil menyerahkan kunci kamar.
"Ada barangnya Pak?" tanyanya lagi ramah.
"Maturnuwun Mbak. Ah cuma tas kecil saja kok. Saya ke lobby saja dulu Mbak. Nampaknya sudah banyak yang datang tuh," kataku.
"Silakan Pak Anto. Monggo, Bu Tini juga ada di lobby kok".
Aku berjalan dengan santai ke lobby. Kulihat di sebuah meja nampaknya
ramai dengan gelak tawa. Aku tersenyum saja. Ternyata memang sudah ada
beberapa teman laki-laki dan perempuan yang ada dan masih ngerumpi.
Entah karena penampilanku atau karena tidak memperhatikan sekelilingnya
kelihatannya mereka tidak mempedulikanku. Aku duduk di meja sebelahnya
dengan posisi memunggungi mereka. Kudengar lagi suara bersahutan dan
kemudian gelak tawa meledak. Aku tidak tahu persis siapa yang bicara.
"Eh Anto katanya mau datang. Udah lama dia nggak kumpul dengan kita. Udah jadi konglomerat katanya dia di Jakarta."
"Ah paling dia udah nggak ingat lagi dengan kita-kita. Jelas dia patah
hati dengan Intan sehingga dia nggak mau lagi ketemu dengan kita. Takut
terkuak luka lama".
Aku tersenyum saja. Mereka bicara bersahut-sahutan.
"Oh ya, kali ini siapa yang sudah nggak perawan lagi?"
"Husshh, ngaco lu!!"
"Maksudnya udah kawin. Lu aja yang ngeres".
"Oo. Anto kali ya. Dulu aku sebenarnya mau saja ama dia. Tapi dianya
lebih tertarik ke Intan. Aku tentu tak berani bersaing dengan Intan".
Kali ini pasti suara Desi. Anak ini dulu memang ada perhatian khusus
padaku. Tiba-tiba kulihat seseorang berjalan ke arah mereka. Kulirik
sekilas, ternyata Isman. Aku pura-pura membaca majalah dengan menunduk.
Isman pun segera larut dalam gelak tawa di sebelah. Setelah beberapa
lama, mungkin ia baru sadar.
"Eh, mana Anto?"
"Sudahlah. Pacarmu itu nggak akan datang?"
"Kalau saya lihat di daftar booking kamar. Ada kok namanya. Malahan
sekamar sama Isman. Biar mereka pacaran lagi," kata Tini sang tuan
rumah.
"Dia sudah datang. Tadi saya ke resepsionis katanya udah ambil kunci dan
katanya di lobby. Makanya aku langsung ke sini," kata Isman dengan nada
penasaran.
Ia berdiri dan mengamat-amati tamu yang ada. Ia keluar dari kelompok
tadi dan berjalan ke arahku sambil tetap mengamati sekelilingnya. Ia
kemudian duduk di depanku dan memperhatikanku. Ketika bertatapan mata ia
hanya mengangguk dan kubalas dengan anggukan kecil tanpa ekspresi.
Kelihatannya ia belum mengenaliku, atau ragu-ragu apakah aku benar teman
sebangkunya di SMA.
Ia masih penasaran, sesekali melirikku namun kubiarkan saja. Akhirnya ia
berdiri dan berjalan ke resepsionis. Kembali dari resepsionis dengan
langkah mantap ia menuju ke arahku, berdiri di belakangku dan dengan
sekali renggut maka terlepaslah topiku. Teman-teman lainnya yang ada di
meja sebelah kelihatan terkejut.
Aku masih diam saja. Ia tarik tanganku sampai aku berdiri dan kemudian
tangannya melepas kacamata hitamku. Tangan kanannya memegang tangan
kiriku dan mengangkatnya. Kemudian dengan gaya seorang announcer
pertandingan tinju ia berteriak.
"Inilah pangeran yang kita nanti-nanti selama ini. Dengan bangga kami persilakan tampil.. Anntoo, the Lost Boy!!"
Dengan tersenyum aku membungkukkan badan. Diam sejenak. Kemudian
semuanya menghambur ke arahku. Ada yang memukul lenganku, ada yang
mencubit, ada yang mendorong, sayangnya tidak ada yang menciumku.
"Gila anak satu ini. Bisa-bisanya ia duduk manis di sebelah kita. Sementara kita sibuk mencarinya".
Akhirnya satu persatu semua temanku menyalamiku dengan hangat. Kurasakan
semua memang saling sangat merindukan. Bukan aku sombong, tapi waktu
masa sekolah dulu selain pintar aku tidak memilih teman. Mungkin satu
sifat saja yang kurang disukai teman-teman. Aku kebanyakan bercanda
walau suasana sedang serius. Jadi kalau ada rapat untuk suatu acara, aku
tidak pernah jadi panitia. Tapi kalau acara sudah berlangsung,
teman-teman akan kehilangan kalau aku nggak ada.
"Emang lu nggak berubah dari dulu. Usil, jahil, iseng de-el-el. Tega lu
duduk nguping gosip kita. Gimana kabarnya?" salah seorang temanku
bertanya.
"Dengar semuanya. Pasang telinga baik-baik. Aku akan jelaskan semuanya
sekaligus sanggahan semua gosip tadi. Aku masih Anto yang dulu, bedanya
sekarang cambangnya saja lebat. Aku tidak patah hati karena Intan.
Sampai sekarang, mungkin aku yang paling sering kontak dengan Intan.
Kalian tahu dua bulan lagi ia akan menikah? Jadi jangan bikin gosip
murahan, nanti bisa saya adukan karena mencemarkan nama baik. OK?"
kataku dengan nada yang dibuat-buat.
"Aku tidak bisa ikut acara reuni tahunan karena kesibukanku. Untuk itu maafkanlah daku yang hina dina ini!" lanjutku.
"Sudah.. Sudah. Lebih baik sekarang kita istirahat sambil menunggu yang
lain. Nanti acara mulai jam tujuh sekalian makan malam," Tini
menyarankan.
Akhirnya kami bubar menuju kamar masing-masing. Aku masuk ke kamar
bersama Isman. Sambil berbaring kami saling bercerita tentang kondisi
kami masing-masing.
Jam tujuh kurang sedikit kami semua sudah berkumpul di ruangan tempat
acara. Dari tiga puluh dua orang yang diundang, ternyata hadir dua puluh
lima orang saja. Sebenarnya semuanya ada empat puluh dua, namun
beberapa orang sudah hilang jejaknya. Ada beberapa orang yang membawa
suami atau istrinya dan anaknya. Dengan dagu yang licin, cambang sudah
kucukur bersih tadi sore dan kemeja santai aku duduk semeja dengan
beberapa teman. Isman yang mau bergabung diusir oleh teman lainnya.
"Lu nggak bosen-bosen berdekatan dengan si Anto. Lebih baik lu temenin
tuh Ira yang dulu naksir lu. Ia sendirian saja. Suaminya nggak ikut.
Sibuk kali kaya pangeran kita di sebelah".
Ke Bagian 2